Ansor ~ Purwokerto, ibu kota Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, merupakan salah satu pusat perdagangan dan pendidikan di kawasan selatan Jawa Tengah.Dulunya, kawasan ini, yang terletak di selatan Gunung Slamet, salah satu gunung berapi yang masih aktif di Pulau Jawa, adalah tempat menyingkirnya para pengikut Pangeran Diponegoro setelah perlawanan mereka dipatahkan oleh Kompeni Belanda. Maka tidak aneh bila hingga masa kini masih terdapat banyak sekali keluarga yang memiliki silsilah hingga Pangeran Diponegoro dan para tokoh pengikutnya.
Kota Purwokerto begitu tenang. Tergambar dari suasana kotanya, yang tak terlalu padat. Masyarakatnya juga ramah.Di daerah Ledug Kedung Paruk, Banyumas, terdapat makam ulama besar Syaikh Muhammad Abdul Malik bin Syaikh Muhammad Ilyas. Ia keturunan Pangeran Diponegoro, ayahandanya adalah cicit Pangeran Diponegoro. Garis keturunan nasab menyambung hingga ke Pangeran Diponegoro. Hal itu dikuatkan berdasarkan "Surat Kekancingan" (semacam surat pernyataan kelahiran) dari pustaka Kraton Yogyakarta. Syekh Abdul Malik adalah putra Muhammad Ilyas bin Raden Mas Haji Ali Dipowongso. Silsilah keturunannya bermuara hingga ke Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III Yogyakarta.
Syaikh Muhammad Abdul Malik bin Ilyas adalah sosok ulama yang sangat disegani di Jawa Tengah. Ia dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu’, dan sifat-sifat mulia lainnya, yang menunjukkan ketinggian akhlaq. Maka amat wajarlah masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya serta menjadikannya panutan.
Kehidupan Syaikh Abdul Malik sangat sederhana, di samping itu ia juga sangat santun dan ramah kepada siapa saja. Ia juga gemar sekali melakukan silaturahim kepada murid-muridnya yang miskin. Baik mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya, seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, Dukuh Waluh, Bojong, dan lain-lain.
Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan kendaraan sepeda, naik becak, atau dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang, dan terkadang pakaian, sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan, yakni forum silaturahim para pengikut Thariqah An-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah Kedung Paruk yang diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan tawajjuhan (pengarahan).
Syaikh Abdul Malik semasa hidupnya adalah mursyid dua thariqah besar, yaitu Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan Thariqah Asy-Syadziliyah. Sanad Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah ia peroleh secara langsung dari ayahnya, yakni Syaikh Muhammad Ilyas, sedangkan sanad Thariqah Asy-Sadziliyah diperolehnya dari Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki, Makkah.
Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama, yaitu membaca Al-Qur’an dan shalawat. Ia membaca shalawat sebanyak 16.000 kali setiap harinya dan sekali menghatamkan Al-Qur’an. Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat Khidhir AS, atau lebih sering disebut Shalawat Rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad”. Dan itu adalah shalawat yang sering ia ijazahkan kepada para tamu dan muridnya. Adapun shalawat-shalawat yang lain seperti Shalawat Al-Fatih, Al-Anwar, dan lain-lain.
Di samping dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik juga mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang oleh banyak orang dianggap telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bafaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Probolinggo), K.H. Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid Bin Yahya (Sokaraja, Banyumas), dan lain-lain.
Konon beliau mengamalkan lebih dari 12 thariqah,hanya yang diturunkan paling tidak 4 thariqah yaitu naqsyabandi al-khalidi, syadziliyah, qairiyah naqsyabandiyah dan alawiyah. Di samping memberikan pelajaran tentang ilmu tashawuf (Thariqah), beliau juga mengembangkan ilmu al-qur’an (tahfidul-qur’an dan qira;ah sab’ah). Tidak sedikit para hafidh dan qari’ datang kepada beliau untuk mengambil ilmu al-qur’an atau sekedar tabarukan.
Pada suatu riwayat, diceritakan, pada saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul, selesai acara haul, Habib Soleh berkata kepada para jama’ah, ”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.”
Tak lama kemudian, dari kerumunan orang yang menghadiri acara haul tersebut, datanglah Syaikh Abdul Malik, dan jama’ah pun terkejut melihatnya. Mereka tak menyangka bahwa yang dimaksud oleh Habib Soleh Tanggul adalah Syaikh Abdul Malik, orang yang begitu tawadhu’.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo). Ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu, karena aku mau menyambut salah satu pembesar wali Allah.”
Lima Belas Tahun di Makkah
Syaikh Abdul Malik lahir di Kedung Paruk, Purwokerto, pada hari Jum’at 3 Rajab 1294 H (1877).
Nama kecilnya adalah “Muhammad As’ad”, sedang nama “Abdul Malik” diperoleh dari ayahnya, K.H. Muhammad Ilyas, ketika ia menunaikan ibadah haji bersamanya.
Syaikh Abdul Malik memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orangtuanya dan saudara-saudaranya yang ada di Sokaraja, Banyumas, terutama K.H. Muhammad Affandi.
Setelah belajar Al-Qur’an kepada ayahnya, Abdul Malik diperintahkan untuk melanjutkan pendidikannya kepada Kiai Abu Bakar bin Haji Yahya Ngasinan, Kebasen, Banyumas. Selain itu, ia juga memperoleh pendidikan dan pengasuhan dari saudara-saudaranya yang berada di Sokaraja, sebelah timur Purwokerto. Di Sokaraja ada saudara Abdul Malik, yakni Kiai Muhammad Affandi, ulama sekaligus saudagar kaya raya. Ia memiliki beberapa kapal haji yang dipergunakan untuk perjalanan menuju Tanah Suci.
Setelah belajar Al-Qur’an dengan ayahnya, pada tahun 1312 H/1895 M, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa, ayahnya mengirimnya untuk mendalami ilmu agama di Makkah.
Di Makkah, ia mempelajari berbagai disiplin ilmu agama, di antaranya ilmu Al-Qur’an, tafsir, ulumul Qur’an, hadits, fiqih, tasawuf, dan lain-lain. Asy-Syaikh belajar di Tanah Suci kurang lebih lima belas tahun.
Syaikh Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas menikahi tiga orang istri, dua di antaranya dikaruniai keturunan. Istri pertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti binti Abu Bakar, yang lebih dikenal dengan sebutan “Mbah Johar”. Ia seorang wanita terpandang, putri gurunya, Kiai Abu Bakar bin H. Yahya Kelewedi Ngasinan, Kebasen. Istri pertama ini kemudian dicerai setelah dikaruniai seorang anak lelaki bernama Ahmad Busyairi (wafat tahun 1953, pada usia sekitar 30 tahun).
Menolak Bencana
Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu tafsir dan ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayyid Umar Syatha’ dan Sayyid Ahmad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in). Dalam ilmu hadits, ia berguru kepada Sayyid Tha bin Yahya Al-Maghribi (ulama Hadhramaut yang tinggal di Makkah), Sayyid Alwi bin Shalih bin Aqil Bin Yahya, Sayyid Muhsin Al-Musawa, Syaikh Muhammad Mahfuzh bin Abdullah At-Tirmasi. Dalam bidang ilmu syari’ah dan Thariqah Alawiyah, ia berguru kepada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar Al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Bogor), dan Kiai Sholeh Darat (Semarang).
Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah Sayyid Ahmad bin Muhammad Amin Ridhwan, Sayyid Abbas bin Muhammad Amin Ridhwan, Sayyid Abbas Al-Maliki Al-Hasani (kakek Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani), Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki, dan Sayyid Ali Ridha.
Setelah sekian tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H/1909 M Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada kedua orangtuanya, yang saat itu sudah sepuh.
Pada tahun 1333 H/1915 M, sang ayah, Syaikh Muhammad Ilyas, berpulang ke rahmatullah.
Setelah ayahandanya wafat, Syaikh Abdul Malik mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa guna menambah wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah tepat pada hari ke-100 dari hari wafat sang ayah.
Sepulang dari pengembaraan, Asy-Syaikh tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk, bersama ibundanya, Nyai Zainab.Sebagai pembimbing dan syaikh, ia sering sekali membawa jama’ah haji Indonesia asal Banyumas. Bekerja sama dengan Syaikh Mathar Makkah, aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama.
Selama menetap di Makkah, ia memanfaatkan waktu untuk memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan masyayikh yang ada di sana.Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugerah, yakni diangkat menjadi wakil mufti Madzab Syafi’i di Makkah dan diberi kesempatan untuk mengajar. Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal di sekitar Masjidil Haram, tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugerah ini diberikan oleh pemerintah Saudi hanya kepada ulama yang telah memperoleh gelar Al-‘Allamah.
Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang), ketika berkunjung ke Purwokerto, sering kali menyempatkan diri singgah di rumah Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan kepadanya. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), K.H. Khalil (Sirampog, Brebes), K.H. Anshori (Linggapura, Brebes), K.H. Nuh (Pageraji, Banyumas), dan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.
Murid-murid lain Syaikh Abdul Malik di antaranya K.H. Abdul Qadir, Kiai Sa’id, K.H. Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah), K.H. Sahlan (Pekalongan), Drs. Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), K.H. Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali Bin Yahya (Pekalongan), K.H. Ma’shum (Purwokerto).
Diungkapkan oleh Habib Luthfi Bin Yahya, yang juga muridnya, “Karya-karya Al-Allamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kiai, ulama, maupun shalihin.”
Amalan yang ia wariskan sampai sekarang masih dibaca para pengikut thariqahnya, yaitu Al-Miftah al-maqashid li-ahli at-tauhid fi ash-shalah ‘ala babillah al-hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-fatih li-jami’i asy-syada’id.
Shalawat itu, yang ia dapat di Madinah, langsung diijazahkan oleh Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwan Al-Madani, ini memiliki manfaat yang sangat banyak. Di antaranya, bila dibaca, pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’il al-Khairat seratus sepuluh kali. Juga, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka. Wallahu ‘alam bishshawab.
Melawan Penjajah
Namanya boleh saja tidak tercatat dalam deretan pahlawan nasional. Namun, sejarah tetap mengenang sepak terjang tokoh yang memiliki nama asli Muhammad Ash'ad bin Muhammad Ilyas itu dalam perlawanan mengusir penjajah Belanda. Semangat perjuangan itu ia gelorakan melalui majelis-majelis dakwah dan ilmu yang ia asuh.
Aktivitasnya itu terbukti mampu membuat Belanda geram. Mereka khawatir, aksinya ini dapat menyulut api perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Para penjajah itu tak tinggal diam. Syekh Abdul Malik masuk dalam daftar pencarian orang.
Kabar tersebut tak lantas membuatnya terdiam dan ketakutan. Mufti kelahiran Kedung Paruk, Purwokerto, Jumat, 3 Rajab 1294 H/1881 M ini justru bergabung bersama laskar-laskar rakyat untuk berperang sebagaimana leluhurnya, Pangeran Diponegoro, yang berbaur bersama rakyat untuk menentang penjajahan Belanda.
Dengan kalimat tauhid, ia senantiasa menyuntikkan semangat perjuangan terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung Slamet. Perlawanan terhadap tiran dan kebatilannya tetap berlanjut. Setelah Indone sia merdeka, pada masa Gestapu, Syekh Abdul Malik juga sempat ditahan oleh PKI bersama sejumlah karibnya, di antaranya Habib Hasyim al-Quthban, di Yogyakarta, saat di perjalanan menuju Bumiayu, Brebes.
Selama berada dalam tahanan ini, Habib Hasyim al-Quthban terguncang dan akhirnya meninggal, sedangkan Syekh Abdul Malik masih hidup dan akhirnya dibebaskan. Keberanian Syekh Abdul Malik melawan penjajah ini diwarisi dari keluarganya.
Aktivitasnya itu terbukti mampu membuat Belanda geram. Mereka khawatir, aksinya ini dapat menyulut api perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Para penjajah itu tak tinggal diam. Syekh Abdul Malik masuk dalam daftar pencarian orang.
Kabar tersebut tak lantas membuatnya terdiam dan ketakutan. Mufti kelahiran Kedung Paruk, Purwokerto, Jumat, 3 Rajab 1294 H/1881 M ini justru bergabung bersama laskar-laskar rakyat untuk berperang sebagaimana leluhurnya, Pangeran Diponegoro, yang berbaur bersama rakyat untuk menentang penjajahan Belanda.
Dengan kalimat tauhid, ia senantiasa menyuntikkan semangat perjuangan terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung Slamet. Perlawanan terhadap tiran dan kebatilannya tetap berlanjut. Setelah Indone sia merdeka, pada masa Gestapu, Syekh Abdul Malik juga sempat ditahan oleh PKI bersama sejumlah karibnya, di antaranya Habib Hasyim al-Quthban, di Yogyakarta, saat di perjalanan menuju Bumiayu, Brebes.
Selama berada dalam tahanan ini, Habib Hasyim al-Quthban terguncang dan akhirnya meninggal, sedangkan Syekh Abdul Malik masih hidup dan akhirnya dibebaskan. Keberanian Syekh Abdul Malik melawan penjajah ini diwarisi dari keluarganya.
sumber : http://www.republika.co.id/berita/koran/islam-digest-koran/15/11/22/ny7wkl1-syekh-abdul-malik-pejuang-kemerdekaan-yang-religius
Tiga Pesan
Pada hari Kamis malam Jum’at, 21 Jumadil Akhir 1400 H, yang bertepatan dengan 17 April 1980 M, sekitar pukul 18.30 WIB, Syaikh Abdul Malik meminta izin kepada istrinya untuk melakukan shalat Isya’ dan masuk ke dalam kamar khalwatnya.Tiga puluh menit kemudian, salah seorang cucunya mengetuk kamar tersebut, namun tidak ada jawaban.
Setelah pintu dibuka, rupanya sang mursyid telah berpulang menghadap Ilahi, dengan posisi kepala di utara dan kaki di selatan.Jenazahnya dimakamkan keesokan harinya lepas shalat Ashar, di belakang Masjid Baha’ul Haq wa Dhiya’uddin, Kedung Paruk, Purwokerto.Sebelum meninggal, ia menitipkan tiga pesan untuk kaum muslimin:
Pertama, jangan meninggalkan shalat. Tegakkan shalat, sebagaimana telah dicontohkan Rasululah SAW. Lakukan shalat fardhu pada waktunya secara berjama’ah. Perbanyak shalat sunnah, serta ajarkan kepada para generasi penerus sedini mungkin.
Kedua, jangan tinggalkan membaca Al-Qur’an. Baca dan pelajari setiap hari, serta ajarkan sendiri sedini mungkin kepada anak-anak. Sebarkan Al-Qur’an, di mana pun berada. Jadikan sebagai pedoman hidup, dan lantunkan dengan suara merdu. Hormati orang-orang yang hafal Al-Qur’an dan qari’-qari’ah, serta muliakan tempat-tempat pelestariannya.
Ketiga, jangan tinggalkan membaca shalawat. Baca dan amalkan setiap hari. Contoh dan teladani kehidupan Rasulullah SAW, serta tegakkanlah sunnah-sunnahnya. Sebarkan bacaan shalawat Rasulullah, selamatkan dan sebarluaskan ajarannya.
Morena Cindo
sumber : http://fadhilaizki.blogspot.co.id/2014/11/syaikh-muhammad-abdul-malik-bin-ilyas.html